Mega
Mega
Plaaakkk .....
Suara dari dalam rumah bercat merah,
disusul suara tangis keras anak kecil menghentikan langkahku.
“Rewel lagi ... rewel lagi ... tiap hari
ada saja!” suara perempuan menghardik.“Tak usah kau minta yang macam-macam!”
omelannya makin menjadi.
Refleks tanganku mengetuk pintu. Duuuhhh
... gawat, nih. Aaahhh ... apa boleh buat sudah kepalang basah. Pintu dibuka
dengan kasar. Seorang perempuan muda mengenakan tank top nampak di depanku dengan muka masam. Dia Tante Dessy.
Tetangga depan tempat kosku.
“Ada apa kau?” tanyanya kasar.
“eeh ... eeh ... nggak papa, Tan!”
jawabku terbata.
“Lah, kalau gitu kenapa kau kemari?
Ganggu orang saja!”
“Eehh ... itu, Dik Mega kenapa, Tan!”
tanyaku dengan tangan yang mulai dingin.
Mata Tante Dessy melotot padaku.
“Tak usah kau ikut campur urusan orang!
Urus sana dirimu sendiri! Macam pengangguran saja kau!”
Braaakkk .....
Pintu dibanting dengan keras. Jantungku
seakan meloncat keluar. Pintu di depanku telah tertutup. Aku mendengar rentetan
kalimat menusuk dari balik pintu.
“Urus kuliahmu yang tak selesai-selesai,
tuh!” jleb sakit banget rasanya hatiku. “Kuliah tak lulus-lulus, sok ngurusin
urusan orang!” makin sakit di dadaku. “Emang hidupku bakal berubah, kalau aku
curhat setiap persoalanku pada orang kampung. Ingin tahu saja segala urusan
orang,” lanjutnya. “Aku sudah jemu. Semua orang di kampung ini yang sok
ngurusin diriku,” ocehan bak curhatan Tante Dessy terus terdengar.
Berderet-deret kalimat dari dalam rumah
Tante Dessy masih berlanjut. Suara tangis Mega makin kencang. Aku putar badanku
menuju rumah di depanku. Rumah sederhana dengan pohon jambu air di halamannya
ini tempat kosku setahun belakangan. Sebelumnya, aku tinggal di rumah Bu Dawis,
letaknya lima rumah dari tempat kosku yang sekarang.
Aku merasa pohon jambu ini adalah magnet
di kampung ini. Buktinya tidak aku saja yang suka, anak-anak kecil di kampung
ini juga suka sekali main di bawahnya. Bahkan ibu-ibu hampir setiap sore berkumpul
sambil menyuapi anak-anaknya.
***
Suatu sore ketika aku baru pindah
kemari, aku melihat anak perempuan kecil sedang bermain sendirian di halaman. Kira-kira
umurnya lima tahun. Tangannya memegang seutas lidi dan mencoret-coret di tanah.
Agaknya dia sedang membuat gambar.
“Hai ... sedang apa, Dik?” tanyaku sambil
mendekat.
Dia mendongak padaku dan mundur beberapa
langkah.
“Eee, jangan takut! Sini main sama
kakak,” ajakku.
Dia masih terdiam di tempatnya.
“Kamu tadi gambar apa?” tanyaku lagi.
“Gambar papa,” jawabnya hampir tak
terdengar.
“Oooooh ... kamu sayang papa, ya! Anak
pintar.”
Dia masih diam. Tapi ketegangan di
wajahnya yang tirus sudah mulai berkurang. Kulihat ada bekas lebam di pelipis
kirinya.
“Siapa namamu, Dik?” tanyaku sambil
berjongkok
“Mega!”
jawabnya malu-malu.
“Panggil
aku Kak Embun, ya?” pintaku disambut anggukan kecil darinya.
“Itu kenapa?” tanyaku sambil menujuk
pelipis kirinya.
Mega tak menjawab, membalikkan badannya
dan lari pulang.
Yah,
begitulah awal perkenalan kami. Sebelum aku kos di sini, sudah sering mendengar
cerita tentang Mega dan mamanya. Namun hanya sekadar cerita. Kami tak saling
mengenal, karena Tante Dessy tak pernah bergaul dengan tetangga. Kata para ibu
yang suka ngrumpi di bawah puhon jambu, papa Mega yang seorang pelaut sudah tak
pulang sejak Mega umur satu tahun . Sedangkan Tante Dessy sudah dua tahun ini
kerja malam. Semenjak itulah Mega tiap malam ditinggal sendiri di dalam rumah.
Tiap hari Tante Dessy memarahi Mega. Apalagi jika dia pulang dalam keadaan
mabuk. Sudah pasti Mega kena pukul.
***
Siang sangat terik ketika aku menyusuri kampung
sepulang dari kampus. Aku lihat penjual es cincau berhenti tepat di depan
rumah. Tiga orang ibu sedang antri membeli es, ketika kuputuskan untuk ikut
membeli juga. Sambil menikmati es cincau, aku duduk di teras sambil menerawang
anganku. Semula aku putuskan pindah kemari berharap lebih tenang untuk
menyelesaikan skripsiku yang sempat terkatung-terkatung, karena kesibukanku
magang di lembaga psikologi milik dosenku. Namun sudah hampir setahun aku
tinggal di sini, semua revisiku belum juga kelar. Hampir lima tahun aku tak
juga lulus.
Pyaaaaarrrrr .....
Suara benda beling jatuh membuyarkan
lamunanku. Disusul suara makian dan tangis dari dalam rumah.
“Sudah, kalau tak mau makan, tak usah
minta makan!” suara Tante Dessy menggema. “Biar mati sajalah kau!”berteriaknya.
Tangis Mega makin keras ketika kudengar
suara pukulan menderanya.
“Ampun Mama ... ampun Mama ...,” suara
parau Mega berkali-kali.
Aku letakkan es cincau yang masih
setengah gelas di meja. Aku melangkah ke pagar rumah. Aku lihat wajah cemas
ibu-ibu yang antri es tadi. Penjual es berhenyak juga mendengar suara gaduh
itu. Tapi apa boleh buat, tak ada yang berani ikut campur. Sejak aku di sini,
sudah beberapa kali ibu-ibu mencoba membantu. Tapi yang didapat justru amukan
Tante Dessy tidak suka rumah tangganya diusik. Tidak hanya makian, tapi Tante
Dessy berani menghajar siapa pun yang mengusiknya. Sejak saat itu tak ada yang
berani berurusan dengannya.
“Kalau kau tak turut kata mama, mau
turut siapa?”
“Ampuuun ... Mamaaaaa ..... Tolong
Megaaa .....Papaaaaa!!!” suaranya menyayat hati.
“Jangan kau panggil-panggil papamu! Dia
sudah tak ada. Dia sudah lupa sama kita. Dia tak sayang sama kita lagi. Biar
saja dia mati ditelan samudra. Dasar laki-laki tak tanggungjawab, maunya menang
sendiri. Hanya meninggalkan kesengsaraan saja .....”
“Paaaaapaaaaa .....!!!” teriak mega
disambut suara pukulan bertubi-tubi.
***
Sore ini halaman rumah ramai anak-anak.
Mereka berebut berhambur padaku ketika aku keluar dengan membawa kertas gambar
dan krayon. Ya, aku suka membagikan gambarku yang sudah akugandakan, pada
anak-anak yang sering main di halaman.
“Eittt, tunggu dulu! Ayo, duduk, nanti
semua dapat gambar untuk diwarnai. Tak usah berebut!” ujarku menenangkan
mereka.
Aku membagi satu per satu gambar untuk
diwarnai. Terasa ada yang kurang. Aku belum melihat Mega di antara mereka. Aku
metatap pintu bercat merah itu tertutup rapat. Mungkinkah Mega ..... Aaahhh,
segera kutepis pikiran burukku. Setelah semua anak selesai dengan gambar
mereka, akubagi lego kecil yang terbungkus kertas kado warna-warni sebagai
hadiah. Tampak mereka pulang dengan riang sambil membawa gambar dan hadiah
masing-masing.
Akubereskan kertas dan krayon berserakan
ketika tangan kecil memelukku dari belakang. Aku menoleh dan kulihat Mega masih
memeluk erat punggungku. Akuraih dan akuletakkan tubuh kurusnya di pangkuanku.
Nampak olehku ada darah mengering di sudut hidungnya dan garis-garis membiru di
kedua pahanya.
“Mega mau minum?” aku rasakan badannya
agak panas.
Dia mengangguk perlahan.
Aku ambil segelas air mineral di meja. Akuulurkan
padanya. Dia minum perlahan sambil memandangku. Tatapan matanya yang sayu
membuat hatiku perih. Sebagai anak semata wayang, hatiku terlampau sakit bila
melihat penderitaan Mega.
“Yuk kita menggambar, Ga! Mau, kan?”
ajakku.
“He eh ... !” ucapnya lirih.
“Nih, kakak punya gambar. Mega warnai,
ya! Ini krayonnya.”
Air mukanya berubah, ketika melihat gambar
yang kusodorkan. Diambilnya krayon merah dan mulai membubuhkan pada gambar.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu.
“Eeh, Mega mau hadiah dari kakak?”
“Mau,” jawabnya tanpa menoleh padaku.
“Okay, kakak punya hadiah spesial untuk
Mega. Kakak ambil dulu, ya!”
“Ya,” jawabnya cuek.
“Bentar ya, Ga!”
Kutinggalkan Mega di teras. Kucari
hadiah yang kujanjikan. Beberapa saat aku ubek-ubek isi kamarku, belum juga
kutemukan. Duhhh ..... hadiahnya terselip kemana, nih. Maklumlah, hadiah ini
sudah kusiapkan enam bulan lalu saat Mega ulang tahun. Tapi lantaran ada
insiden ngamuknya Tante Dessy dengan ibu-ibu yang sengaja memberi surprisepada Mega, maka hadiah ini tak
jadi akuberikan. Alasan utamanya sama, yaitu takut.
Ups ... kakiku menginjak sesuatu di
sudut kolong tempat tidur. Kulihat kertas pink
menyembul dari sana. Nah, ini yang kucari. Kuambil dan segera kembali ke
teras.
Kulihat Mega masih mewarnai. Melihatku
datang dia segera berdiri dan menunjukkan hasil kerjanya.
“Kak Mbun, Mega sudah selesai!”
Aku tertegun. Melihat gambarnya, sesaat
tak bisa berucap.
“Jelek ya, Kak?” tanyanya demi melikat
reaksiku.
Kali ini aku menggambar seorang ayah,
ibu, dan anak di tengahnya.
“Oh, nggak kok. Bagus kok, Ga! Kakak
boleh tanya. Ga, kenapa kamu warnai ayah dengan warna biru?”
“Ya, kakak pernah bilang warna laut
biru, kan. Kata mama, papa mati di laut. Jadi badan papa biru, kan!”
Tertegun aku mendengar penjelasan Mega.
“Lha, gambar anaknya kok garis-garis
hitam. Kan, jadi nggak kelihatan, Ga?” tanyaku penasaran.
“Ini anak nakal. Nggak nurut sama
mamanya. Jadi dikurung kayak monyet,” ucapnya dengan nada kesal. Air mukanya
mendadak berubah.
“Ini, ibunya berbaju merah ya, Ga?”
Tiba-tiba .....
“Mama jahat ..... mama jahat ..... mama
jahat .....” teriaknya berulang-ulang sambil mengetuk-ngetuk krayon merah
digenggamannya pada gambar. Ada kemarahan di matanya.
Mega terus berteriak. Tubuhnya
berguncang-guncang. Tangannya terus mencoret-coret apa saja. Air matanya mulai
membanjir. Dengan sigap aku memeluk tubuh mungilnya. Dia terus meronta. Akuelus
kepalanya untuk menenangkannnya. Aku mencoba membujuknya dengan cerita si meong
kesukaannya.
Ketika tangisnya mulai mereda, kutawarkan
minum padanya. Diminumnya air seteguk, lalu kembali kupeluk.
“Mega .... Mega anak cantik ... anak
pintar, karena itu kakak punya hadih buat Mega,” kuraih bungkusan kado berwarna
pink yang sedari tadi tergeletak di
lantai. “Nih, ini buat Mega. Kamu pasti suka,” kuletakkan kado di dalam
pelukannya.
Mega mulai tenang. Kado ditanggannya
dibolak-balik. Dia ingin tahu isinya.
“Boleh dibuka, Kak?” tangannya sambil mengocok-ngocok
kado, seakan memastikan isinya.
Aku bantu membuka kadonya. Setelah
terbuka bungkusnya, matanya berbinar mengetahui isinya. Mega mencium pipiku lalu
berlari pulang. Tanpa mengucap apa-apa, dia meninggalkan aku yang masih melongo
menatapnya.
***
Hujan rintik mengiringi langkahku kembali
ke tempat kos setelah libur semester di rumah melepas rindu pada ayah ibuku.Aku
terhenyak saat melihat mobil polisi dan ambulan terparkir di ujung gang. Dari kejauhan bayak orang berkerumun di depan tempat
kosku. Aku mempercepat langkahku. Langkahku terhenti saat aku lihat beberapa
polisi dan orang keluar masuk rumah Tante Dessy.
Aku hampiri Bu RT yang berdiri tak
jauh dari tempatku.
“Ada apa ya, Bu?”
“Anu Mbak, Tante Dessy meninggal.”
Deg! Aku terperanjat.
“Kapan, Bu? Sakit apa?”
“Nggak tahu, Mbak. Ini masih
dipastikan meninggalnya kapan.Soalnya baru ditemukan tadi pada waktu Mega main
di luar. Kok tumben pintunya terbuka. Lha, Bu Dawis yang sedang lewat depan
rumah, iseng melongok ke dalam rumah. Nah, terus lihat Tante Dessy sudah
tergantung di ruang tengah,” jelas Bu RT.
“Ooooohhh .....,” tiba-tiba saja
kata-kataku tercekat ditenggorokan. Aku tak mampu berkata-kata.
“Bu Dawis pakik, Mbak. Terus
teriak-teriak minta tolong ..... “
Bla ... bla ... bla ... cerita Bu RT
tiba-tiba tak aku dengar. Kepalaku mulai pening. Sejurus kemudian aku teringat
Mega.
“Mega, mana Bu?” tanyaku cemas.
“Mega dibawa Bu Dawis, Mbak. Diajak
ke rumahnya. Kasihan dia.”
***
Awan
berarak menemaniku mencermati bait puisi karya Dorothy Law Nolte di teras. Tanda police line di rumah bercat merah depan
rumah masih terpasang.Sebuah karangan bunga bertanda salib tanpa nama pengirim
tertulis “Turut Berduka Cita Atas Berpulangnya DESSY GRASIA LUMEMPOUW”
disandarkan depan pintunya. Kini tak ada lagi teriakan dari Tante Dessy memaki
anaknya. Tak ada lagi suara gaduh dari dalam rumahnya. Tak ada lagi tengis
menyayat hati dari mulut Mega. Halaman rumah ini jadi sepi dari anak-anak sejak
Tante Dessy pergi dan Mega diasuh Bu Dawis.Kampung makin terasa senyap, karena
orang tua menjadi suka menakut-nakuti anak-anak mereka dengan cerita horor agar
mereka tidak main di luar rumah.
Kematian Tante Dessy yang penuh
misteri telah menebar ketakutan di kampung ini. Mengapa tidak? Dugaan semula
kematiannya karena bunuh diri tidak terbukti. Pihak kepolisian dan dokter yang
mengotopsi mayat Tante Dessy menyatakan tidak ada tanda-tanda bunuh diri pada
mayatnya. Mereka masih terus mencari
penyebabnya.
Huufff ..... Aku menghela napas
panjang. Aku simak kembali bait puisi di tanganku. Namun, tiba-tiba langkah
kecil berlari memasuki halaman membuyarkan konsentrasiku.
“Kak Mbun, lihat ini. Mama .....!!!”
teriaknya padaku sambil menujukkan sesuatu.
Aku terperanjat dibuatnya. Boneka kucing
hadiah dariku tercabik-cabik hingga isinya terburai keluar. Leher boneka
terjerat tali sepatu terayun-ayun ditangan kanannya. Tangan kiri Mega memegang
gunting kecil. Mega menatapku tajam dan menyeringai padaku. Tak ada tanda kesedihan
pada dirinya. Tak ada tatapan sayu dan memelas lagi. Tiba-tiba hatiku berdesir.
Bulu kudukku bergidik. Serta merta aku meloncat dari tempat dudukku.
T A M A T
Children Learn What They Live
(Dorothy Law Nolte)
If children live with criticism,
they learn to condemn.
If children live with hostility,
they learn to fight.
If children live with fear,
they learn to be apprehensive.
If children live with pity,
they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule,
they learn to feel shy.
If children live with jealousy,
they learn to feel envy.
If children live with shame,
they learn to feel guilty.
If children live with encouragement,
they learn confidence.
If children live with tolerance,
they learnpantience.
If children live with praise,
they learn appreciation.
If children live with acceptance,
they learn to love.
If children live with approval,
they learn to like themselves.
If children live with recognition,
they learn it is good to have a goal
If children live with sharing,
they learn generosity.
If children
live with honesty,
they learn truthfulness.
If children live with fairness,
they learn justice .
If children live with kindness and consideration,
they learn respect.
If children live with security,
they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness,
they learn the world is nice place in which to live.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan komentar, Friend !