Tiga Srikandi Tiga Generasi Pecinta Literasi



Tiga Srikandi Tiga Generasi Pecinta Literasi

            Istilah literasi telah familiar bagi banyak orang. Bahkan istilah ini telah sering digunakan pada banyak kesempatan. Namun tidak banyak dari mereka yang memahami makna dan defiisinya secara jelas. Memang, literasi merupakan sebuah konsep yang  bermakna kompleks dan dinamis. Sehingga terus ditafsirkan dan didefinisikan dengan berbagai cara dan sudut pandang.
            Menurut Education Development Center (EDC), literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
            Sementara menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat ketrampilan nyata. Khususnya ketrampilan kognitif membaca dan menulis, yang tidak terlepas dari konteks di mana ketrampilan  itu diperoleh dan dari siapa memperolehmya.
            Memiliki kemampuan literasi adalah hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan ini harus dimiliki oleh semua orang, tidak dibedakan atas bangsa, suku, ras, agama, keturunan, pendidikan, dan gender. Hal inilah yang disadari oleh tiga perempuan yang hidup pada generasi berbeda, yakni R.A. Kartini, Yessy Gusman, dan Gayatri.
Tiga perempuan ini berpandangan yang sama, bahwa kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Berawal dari buku, mereka membuat dunianya sendiri agar lebih dikenal, menginspirasi, dan bermanfaat bagi dunia yang lebih luas. Marilah kita simak kisah perjalanan mereka bertiga pada eranya masing-masing.



R.A. Kartini, Putri yang Tetap Membumi
            R,A. Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 adalah putri dari R.M. AdipatiArio Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. R.A. Kartini mewarisi darah bangsawan dari ayahnya dan garis ulama dari ibunya. Ayahnya adalah putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Jika dirunut ke atas, maka silsilah ayahnya terhubung dengan Hamengkubuwono IV hingga Kerajaan Majapahit. Sedangkan Ibunya adalah putri dari Kyai Haji Madirono dan  Nyai Haji Siti Aminah yang merupakan guru agama di Telukawur, Jepara. Gabungan darah bangsawan dan ulama inilah kelak yang mendasari semua pemikiran dan keputusan yang diambil atas kehidupannya.
R.A. Kartini juga mewarisi kecerdasan dari kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang telah diangkat menjadi bupati termuda saat itu. Kakeknya juga menjadi bupati pertama yang memberi pendidikan barat (pendidikan di luar istana) kepada anak-anaknya. Pemikiran maju ini juga diikuti ayahnya dengan mengirim belajar semua anaknya ke sekolah Belanda. R.A. Kartini pun diperbolehkan bersekolah di Europese Lagere School (ELS), Tetapi setelah usia 12 tahun ia harus tinggal di rumah, karena mulai menjalani tradisi pingitan.
Walaupun berdarah bangsawan, R.A. Kartini sudah harus berpisah dengan ibunya sejak usia 4 tahun. Ini dikarenakan ibunya bukan berdarah bangsawan dan bukan istri utama. Dalam aturan kebangsawanan saat itu, tradisi ini harus dijalani agar anak tersebut mendapat gelar kebangsawanan dari ayahnya, yaitu Raden Ajeng bagi putri yang belum menikah dan Raden Ayu bagi putri yang sudah menikah.
Semua saudaranya juga terbilang menonjol dalam hal kecerdasan, terutama kakak kandungnya, R.M. Panji Sosrokartono. Dibanding para siswa non pribumi yang belajar di sekolah Belanda bersamanya, R.M. Panji Sosrokartono terlihat jauh di atas rata-rata kecerdasan teman-temannya. Maka tak heran jika kemudian ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Nederland. Ia tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang bersekolah ke luar negeri. Kecerdasannya pulalah yang membuat ia menguasai 26 bahasa asing dan 10 bahasa nusantara. Penguasaan bahasa yang mumpuni inilah yang membuka pergaulan luas hingga ia menjadi wartawan pada Perang Dunia I, penggagas dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa, penterjemah, dokter, dan cendekiawan yang menjadi rujukan bagi tokoh dunia saat itu.
R.M. Panji Sosrokartono adalah orang yang paling berpengaruh bagi semangat R.A. Kartini dalam memperjuangkan cita-citanya. Ialah orang pertama yang membuka jalan buntu ruang pingitan R.A Kartini dengan memberikan buku-bukunya untuk dibaca. Ia pulalah yang selalu setia mengirimkan berbagai literatur baik berupa buku, majalah, surat kabar, atau pun katalog pada R.A. Kartini. Tak lupa ia selalu memberi semangat pada R.A Kartini lewat surat-surat yang dikirimnya.
Pada usianya yang masih belasan R.A. Kartini telah membaca berbagai leteratur, di antaranya surat kabar De Locomotief asuhan Pieter Brooshooft, majalah De Hollandsche Lelie, buku De Stille Kraacht karya Louis Coperus, buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Ia juga membaca karya Van Eedenyang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman feminis karya Nyonya Goekoop de JongVan Beek, dan sebuah roman anti perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder.
Tampak sekali bahwa R.A Kartini selalu membaca apa pun dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Hal ini terlihat pada surat-surat yang dikirimkan pada teman-temannya, kadang-kadang ia menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat dari buku yang dibacanya. Buku yang dibacanya tidak hanya mempengaruhi pemikiraanya, namun juga telah masuk dalam sendi kehidupannya.
Selain membaca banyak buku, R.A. Kartini juga rajin menulis untuk majalah De Hollandsche Lelie dan berbagai jurnal internasional. Walaupun tulisan pertamamya pada jurnal internasional tidak menggunakan namanya, melainkan nama ayahnya.
Banyak yang beranggapan bahwa R.A. Kartini adalah tokoh feminisme dan pejuang emansipasi wanita. Tak banyak orang tahu bahwa sebenarnya perhatian R.A. Kartini tidak hanya pada masalah feminisme dan emansipasi saja. Kemampuannya membaca dan menulis huruf latin sejak dini membuatnya tergerak untuk mengajarkan pada kaumnya yang tidak mendapat kesempatan belajar di sekolah seperti dirinya.Buta huruf adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik.Seorang yang melek huruf (dapat membaca dan menulis) akan mampu memahami semua bentuk komunikasi yang lain.Maka dari itulah R.A Kartini berusaha memberi bekal utama bagi perempuan melalui pendidikan.Ini adalah sumbangsih terbesar R.A Kartini pada negeri ini, karenakemajuan suatu negara secara langsungtergantung pada tingkat melek huruf di negara tersebut. Orang yang berpendidikan diharapkan melakukan tugasnya lebih baik.
            Sebagai orang yang Jawa, R.A Kartini Ia juga tetap memelihara budaya lokal dengan lebih tekun mempelajari seni batik dan seni ukir Jepara. Bersama dengan kedua saudaranya R.A. Kardinah dan R.A. Roekmini, ia mengembangkan seni batik dan seni ukir Jepara dengan berbagai motif. Ia menggerakkan potensi para pengrajin batik dan ukir di Jepara  hingga berkelas dunia. Pikiran majunya dengan memperkenalkan seni batik dan seni ukir Jepara ke Nederland yang mendapat perhatian Ratu Belanda saat itu adalah Inilah cikal bakal ekspor batik dan ukir Jepara ke seluruh dunia. Ini sumbangan R.A. Kartini di bidang seni, kerajinan, dan ekonomi kreatif.
            Ketertarikan dan perhatiannya terhadap apa saja yang ada di sekitarnya membuat R.A. Kartini selalu ingin tahu tentang banyak hal. Bidang Keagamaan juga tak luput dari perhatiannya. Saat pamannya, Kyai Sholeh Darat mengajarinya membaca Alquran, ia bertanya mengapa Alquran tidak diterjemahkan dalam bahasa yang Jawa agar banyak orang memahami isinya. Ia beranggapan dengan banyak orang memahami isi Alquran, maka banyak umat akan dapat menjalankan syariat lebih baik. Pertanyaan inilah yang memberi semangat Kyai Darat untuk segera menyelesaikan terjemahan Alquran dalam Bahasa Jawa pertama kali yang sempai terhenti. R.A. Kartini juga membantu mencetak dan mendistribusikan terjemah Alquran itu ke beberapa kalangan.
            Masih banyak lagi pemikiran R.A. Kartini yang tenggelam dan tak diketahui banyak orang, seperti bidang politik (politik tanpa perang senjata), bidang hukum (persamaan hukum bagi perempuan), bahkan bidang kuliner (menciptakan berbagai resep masakan tradisional dan modern). Semua pemikiran lintas bidang ini diperoleh R.A Kartini berawal dari membaca buku dengan penuh perhatian.
            Selepas masa pingitan, R.A. Kartini yang memutuskan untuk menerima pinangan K/R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat dantidak jadi melanjutkan sekolah ke Nederland atau sekolah kedokteran di Batavia (Jakarta). Beruntung suaminya mengerti dan mendukung cita-citanya dengan mengizikannya mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kantor kabupaten Rembang.

Yessy Gusman, Gita Cinta dari Taman Baca
            Yasmine Yuliantina Yessy Gusman atau lebih dikenal dengan Yessy Gusman, lahir di Jakarta, 21 Juli 1962 dari pasangan Dave Gusman dan Nina Gusman. Karirnya bermula dari seorang aktris yang membintangi beberapa film remaja pada era akhir 1970-an sampai 1980an. Namanya mulai dikenal lewat film Gita Cinta Dari SMA (1979) yang dibintanginya bersama Rano Karno.
            Yessy Gusman mulai terjun di dunia hiburan Indonesia sejak tahun 1974. Telah banyak film yang dibintanginya, di antaranya Romi dan Yuli, Puspa Indah Taman Hati, Buah Terlarang, Neraca Kasih, La Madrastra, La Viuda de Blanco, dan Tali Merah Perkawinan. Melalui film Usia 18 arahan Teguh Karya, Yessy dinominasikan sebagai Aktris Terbaik di ajang Festival Film Indonesia pada tahun 1980. Setelah industri perfilman ‘mati suri’, sosok Yessy pun ikut menghilang.
            Lesunya industri perfilman Indonesia tak membuatnya duduk diam. Kesempatan ini digunakan Yessy untuk melanjutkan studinya yang sempat terhenti karena kesibukannya di dunia seni peran. Gelar BA dengan predikat cum laude dari University of San Fransisco dan M.B.A dari University of San Fransisco berhasil diraihnya. Sepulangnya dari San Fransisco, Yessy kuliah lagi di Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan meraih predikat cum laude dan mendapat gelar SH.
            Hampir dua puluh tahun tidak muncul di pentas hiburan, Yessy terlihat kembali dengan penampilan yang berbeda. Yessy yang telah berkerudung memfokuskan kegiataanya pada pendidikan anak. Ia telah mendirikan 46 Taman Baca Anak (TBA) dan Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) di bawah naungan Yayasan Bunda Yessy. Yayasan yang dipimpinnya telah berkembang dan membantu lebih dari 500 taman bacaan di seluruh Indonesia. Kegemerannya membaca diwarisi dari kedua orang tuanya yang memang suka membaca. Kegemaran inilah yang ditularkan Yessy pada kedua anaknya Javan Dave Tjakra dan Cherro Adimas Tjakra.
            Berbagai penghargaan kriprahnya menggiatkan dunia literasi telah diraihnya, antara lain penghargaan dari Mizan atas kepedulian untuk mendukung penyedian sarana Tamab Baca Anaka-anak (3 Mei 2003) dan penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas perstasinya dalam meingkatkan minat baca masyarakat melalui Taman Bacaan Ank Yayasan Bunda Yessy (16 Desember 2003)
            Ditengah kesibukannya, Yessy masih sempat menulis sebuah buku berjudul Menyemai Kasih: Suatu Perjalanan (2004) yang diterbitkan oleh penerbit Baraka (Mizan).

Gayatri Wailissa, Poliglot yang Pantang Menyerah
            Gayatri Wailissa lahir di Ambon, 31 Agustus 1995 dari pasangan Deddy Darwis Wailissa dan Nurul Idawaty. Ayahnya seorang pengrajin kaligrafi dan ibunya seorang ini rumah tangga. Gayatri yang berasal dari keluarga sederhana ini bercita-cita ingin menjadi seorang diplomat. Kehidupannya yang sederhana tak pernah menyurutkan langkahnya untuk belajar banyak hal. Sejak kecil buku telah menjadi sahabatnya.
            Gayatri yang periang dan pantang menyerah adalah anak  menyukai kesenian seperti teater, puisi, drama, dan musik. Alat musik yang dapat dimainkannya dengan baik adalah Biola. Ia menyuakai biola karena menurutnya biola dapat melatih konsentrasi. Ia pandai menulis terutama yang berkaitan dengan karya sastra. Beberapa prestasi yang pernah diraihnya adalah Juara 2 Lomba Cerpen Naasional (2008), Juara 1 Lomba Cipta Puisi (2009), Juara 3 Lomba Baca Puisi Tingkat Provinsi(2009), Juara 1 Debat Konsep Pembangunan Daerah (2010), Juara 2 Karya Tarian Kreasi Baru (2010), Juara 1 Lomba Pidato Remaja “Hari Anak Nasional” (2011), Juara Peragaan Busana Fashion Putri Daerah (2011), Juara 1 Lomba Pidato Remaja “Hari Kebangkitan Nasional” (2012),Juara 2 Lomba Karya Ilmiah Sains Terapan (2012), Juara 3 Olimpiade Sains Astronomi (2012), Juara Karya Tulis Sastra Nasional (2012), dan Juara Esay Nasional “Hari Perdamaian Dunia” (2012).
            Di usianya yang masih belia, Gayatri telah mampu mendunia dengan segudang prestasi.Gayatri mulai mendunia kala berhasil masuk seleksi untuk menjadi duta anak, mulai dari tingkat provinsi, hngga tingkat Nasional. Setelah mengikuti seleksi kepribadian hingga kemampuan intelektual,  ia berhasil masuk 10 besar dari ribuan siswa yang ikut seleksi mewakili Indonesia menjadi Duta ASEAN untuk anak tahun 2012-2013. Gayatri yang terpilih mewakili Indonesia ke tingkat ASEAN mengikuti pertemuan di Thailand dalam Conventian on the Right of the Child (CRC) atau Konvensi Hak-Hak Anak tingkat ASEAN. Dalam forium tersebut, Gayatri mendapat tempat terhormat dan mendapat julukan ’doktor cilik’ dari perdana menteri Thailand karena kemampuannya menguasai 14 bahasa asing secara otodidak. Kemampuannya di banyak bahasa asing inilah  yang telah membantu mejadi penghubung antara anak-anak di ASEAN yang ingin menyampaikan sesuatu. Ia juga menjadiDuta Tunas Muda Indonesia pada tahun 2013.
Penguasaannya terhadap bahasa asing bukan hanya pada tataran percakapan saja, tetapi juga pada menulis. Ia belajar bahasa asing dengan rajin membaca kamus. Ia juga  mendengarkan lagu, dan menonton film asing. Dengan mendengar dan memperhatikan pengucapannya, ia berlatih berbicara di depan cermin.
Walaupun masih muda, namun kesibukannya sangatlah padat. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Anak (Suara Anak Maluku) dan Pengurus Forum Anak Mauku. Selainitu juga pernah menjadi Ketua Forum Perdamaian (KAPATA DAMAI). Banyak tawarinya menjadi penterjemah bahasa dari berbagai organisasi Internasional seperti PBB, Unicef, Unesco, danWTO. Ia juga masih sempat menjadi pramuwisata, penyiar radio swasta siaran anak dan reporter. Ia yang pernah mengutarakan keinginannya untuk menjadi anggota Badan Intelejen Nasional (BIN). Diakhir hayatnya, sempat tersiar kabar bahwa ia telah dilatih secara intensif dan menjadi angota BIN termuda.

Kemampuam literasi bersifat multiple effect atau dapat memberikan afek untuk ranah yang sangat luas, sepeti membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, mengurangi pertumbuhan penduduk, menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian dunia.
Demikianlah kisah perjalanan dan perjuangan tiga Srikandi dari tiga generasi yang berbeda dalam mencinta dunia literasi. Berangkat dari buku yang dibaca, meraka menularkan virus positif berupa semangat dan motivasi pantang menyerah pada keadaan. Bacaan telah mengubah jalan hidup mereka agar lebih bermanfaat bagi banyak orang. Dua di antara Srikandi tersebut telah berpulang mendahului kita di usia yang masih sangat muda. Lalu, apakah kita tidak berpikir, apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain, ketika masih diberi kesempatan hidup lebih lama?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

949 Taman Hijaukan Surabaya

RASA MERDEKA

Berkebun Sawi Saat Pandemi